NIRAN AZZA


SELAMAT DATANG SILAHKAN LIHAT-LIHAT DAN DIAMBIL YANG ADA HIKMAHNYA

Rabu, 22 Agustus 2012

soleh

DinamisMt sore all wlw udh prnah ku bca
tp ttp ingin ku bca lagi..Ne
crpen..Baca and like ea.. → Kisah
Inspiratif Suami Istri yang
MengharukanA ku membencinya,
itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang
kebersamaankami. Meskipun
menikahinya, aku tak pernah
benar-benar menyerahkan hatiku
padanya. Menikah karena
paksaan orangtua, membuatku membencisuamiku sendiri.Walaupun
menikah terpaksa, aku tak
pernah menunjukkan sikap
benciku. Meskipun membencinya,
setiap hari aku melayaninya
sebagaimana tugasistri. Aku terpaksa melakukan semuanya
karena aku tak punya pegangan
lain. Beberapa kali muncul
keinginan meninggalkannya tapi
aku tak punya kemampuan
finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat
menyayangisuamiku karena
menurut mereka, suamiku adalah
sosok suami sempurna untuk
putri satu-satunya mereka.Ketika
menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala
hal sesuka hatiku. Suamiku juga
memanjakanku sedemikian rupa.
Aku tak pernah benar-benar
menjalani tugasku sebagai
seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku
menganggap hal itu sudah
seharusnya setelah apa yang
ialakukan padaku. Aku telah
menyerahkan hidupku padanya
sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua
keinginanku.Di rumah kami, akulah
ratunya. Tak ada seorangpun
yang berani melawan. Jika ada
sedikit saja masalah, aku selalu
menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang
diletakkan di tempat tidur, aku
sebal melihat ia meletakkan
sendok sisa mengaduk susu di
atas meja dan meninggalkan
bekas lengket,aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun
hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalauia
menggantung bajunya di
kapstock bajuku, aku juga marah
kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya denganrapi, aku
marah kalau ia menghubungiku
hingga berkali-kali ketika aku
sedang bersenang-senang
dengan teman-temanku.Tadinya
aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja,
tapi aku tak mau mengurus anak.
Awalnya dia mendukung dan
akupun ber-KB dengan pil. Tapi
rupanya ia menyembunyikan
keinginannya begitu dalam sampai suatu hariaku lupa minum pil KB
dan meskipun ia tahu ia
membiarkannya. Akupun hamil dan
baru menyadarinya setelahlebih
dari empat bulan, dokterpun
menolak menggugurkannya.Itulah kemarahanku terbesar padanya.
Kemarahan semakin bertambah
ketika aku mengandung sepasang
anak kembar dan harus
mengalami kelahiran yang sulit.
Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku
tidak hamil lagi. Dengan patuh ia
melakukan semua keinginanku
karena aku mengancam akan
meninggalkannya bersama kedua
anak kami.Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa
berulangtahun yang ke-delapan.
Sepertipagi-pagi sebelumnya, aku
bangun paling akhir. Suami dan
anak-anak sudah menungguku di
meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi
dan mengantar anak-anak ke
sekolah. Hari itu, ia mengingatkan
kalau hari itu ada peringatan
ulang tahun ibuku. Aku hanya
menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-
katanya yang mengingatkan
peristiwa tahun sebelumnya, saat
itu aku memilih ke mal dan tidak
hadir diacara ibu. Yaah, karena
merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci
kedua orangtuaku.Sebelum ke
kantor, biasanya suamiku
mencium pipiku saja dandiikuti
anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga
memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut.
Aku berusaha mengelak dan
melepaskan pelukannya. Meskipun
akhirnya ikut tersenyum bersama
anak-anak. Ia kembali mencium
hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat
untukpergi.Ketika mereka pergi,
akupun memutuskan untuk ke
salon. Menghabiskan waktu ke
salon adalah hobiku. Aku tiba di
salonlanggananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu
salah satu temanku sekaligus
orang yang tidak kusukai.
Kamimengobrol dengan asyik
termasuk saling memamerkan
kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon,
namun betapa terkejutnya aku
ketika menyadari bahwa
dompetku tertinggal di rumah.
Meskipun merogoh tasku hingga
bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas.
Sambil berusaha mengingat-ingat
apa yang terjadi hingga
dompetku tak bisa kutemukan
aku menelepon suamiku dan
bertanya.“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan
aku tak punya uang kecil maka
kuambil dari dompetmu. Aku lupa
menaruhnya kembali ke tasmu,
kalau tidak salah aku letakkan di
atas meja kerjaku.”Katanya menjelaskan dengan
lembut.Dengan marah, aku
mengomelinya dengan kasar.
Kututup telepon tanpa
menunggunya selesai bicara. Tak
lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih
kesal, akupun mengangkatnya
dengan setengah membentak.
“Apalagi??”“Sayang, aku pulang
sekarang, aku akan ambil dompet
dan mengantarnya padamu. Sayangsekarang ada dimana?”
tanya suamiku cepat , kuatir aku
menutup telepon kembali. Aku
menyebut nama salonku dan
tanpa menunggu jawabannya lagi,
aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan
mengatakan bahwa suamiku akan
datang membayarkan tagihanku.
Si empunya Salon yang sahabatku
sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa
membayarnya nanti kalau aku
kembali lagi. Tapi rasa malu
karena “musuh”ku juga ikut
mendengarku ketinggalan dompet
membuatku gengsi untuk berhutang dulu.Hujan turun
ketika aku melihat keluar dan
berharap mobil suamiku segera
sampai. Menit berlalu menjadi jam,
aku semakintidak sabar sehingga
mulai menghubungi handphone suamiku.Tak ada jawaban
meskipun sudah berkali-kali
kutelepon. Padahal biasanya
hanya dua kali berdering
teleponku sudah diangkatnya.
Aku mulai merasa tidak enak dan marah.Teleponku diangkat setelah
beberapa kali mencoba. Ketika
suara bentakanku belum lagi
keluar, terdengar suara asing
menjawab telepon suamiku.
Akuterdiam beberapa saat sebelumsuara lelaki asing itu
memperkenalkan diri, “selamat
siang, ibu. Apakah ibu istri dari
bapak armandi?” kujawab
pertanyaan itu segera. Lelaki
asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku
mengalami kecelakaan dan saat
ini ia sedang dibawa ke rumah
sakit kepolisian. Saatitu aku
hanya terdiam dan hanya
menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok
dengan bingung. Tanganku
menggenggam erat handphone
yang kupegang dan beberapa
pegawai salon mendekatiku
dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat
seputih kertas.Entah bagaimana
akhirnya aku sampai di rumah
sakit. Entah bagaimana juga
tahu-tahu seluruh keluarga hadir
di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa
menunggu suamiku di depan
ruang gawat darurat. Aku tak
tahu harus melakukan apa
karena selama ini dialah yang
melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah
menunggu beberapa jam, tepat
ketika kumandang adzan maghrib
terdengar seorang dokter keluar
dan menyampaikan berita itu.
Suamiku telah tiada.Ia pergi bukan karena kecelakaan itu
sendiri, serangan stroke-lah yang
menyebabkan kematiannya.
Selesai mendengar kenyataan itu,
aku malah sibuk
menguatkankedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock.
Samasekali tak ada airmata
setetespun keluar di kedua
mataku. Aku sibuk
menenangkanayah ibu dan
mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat
tetapi kesedihan mereka sama
sekali tak mampu membuatku
menangis.Ketika jenazah dibawa
ke rumah dan aku duduk di
hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru
kali inilah aku benar-benar
menatap wajahnya yang tampak
tertidur pulas. Kudekati wajahnya
dan kupandangi dengan seksama.
Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia
berikan padaku selama sepuluh
tahun kebersamaan kami.
Kusentuh perlahan wajahnya
yang telah dingin dankusadari
inilah kali pertama kaliaku menyentuh wajahnya yang dulu
selalu dihiasi senyum hangat.
Airmata merebak dimataku,
mengaburkan pandanganku. Aku
terkesiap berusaha mengusap
agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku
ingin mengingat semua bagian
wajahnya agar kenangan manis
tentang suamiku tak berakhir
begitu saja. Tapi bukannya
berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku.
Peringatan dari imam mesjid yang
mengatur prosesi pemakaman
tidak mampu membuatku berhenti
menangis. Aku berusaha
menahannya, tapidadaku sesak mengingat apa yang telah
kuperbuat padanya terakhir kali
kami berbicara.Aku teringat
betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya.
Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu
mengatur apayang kumakan. Ia
memperhatikan vitamin dan obat
yang harus kukonsumsi terutama
ketika mengandung dan setelah
melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur,
bahkan terkadang menyuapiku
kalau aku sedang malas makan.
Aku tak pernah tahu apa yang ia
makan karena aku tak pernah
bertanyaBahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak
disukai. Hampir seluruh keluarga
tahu bahwa suamiku adalah
penggemar mie instant dan kopi
kental. Dadaku sesak
mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie
instant karena aku hampir tak
pernah memasak untuknya. Aku
hanya memasak untuk anak-anak
dan diriku sendiri. Aku tak perduli
dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan
masakanku hanya kalau
bersisa.Iapun pulang larut malam
setiap hari karena dari
kantorcukup jauh dari rumah. Aku
takpernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih
dekat ke kantornya karena tak
mau jauh-jauh dari tempat
tinggal teman-temanku.Saat
pemakaman, aku tak mampu
menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnyahilang
bersamaan onggokan tanah yang
menimbun. Aku tak tahu apapun
sampai terbangundi tempat tidur
besarku. Aku terbangun dengan
rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku
membujukku dengan sia-sia
karena mereka tak pernah tahu
mengapa aku begitu terluka
kehilangan dirinya.Hari-hari yang
kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang
selama ini kuinginkan tetapi aku
malah terjebak di dalam keinginan
untuk bersamanya. Di hari-hari
awal kepergiannya, aku duduk
termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu
mertuaku membujukku makan.
Tetapi yang kuingat hanyalah
saat suamiku membujukku makan
kalau aku sedang mengambek
dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak
memanggilnya seperti biasa
danketika malah ibuku yang
datang,aku berjongkok menangis
di dalam kamar mandi berharap
iayang datang. Kebiasaanku yangmeneleponnya setiap kali aku
tidak bisa melakukan sesuatu
dirumah, membuat teman
kerjanya kebingungan menjawab
teleponku. Setiap malam aku
menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku
terbangun dengan sosoknya di
sebelahku.Dulu aku begitu kesal
kalau tidur mendengar suara
dengkurannya, tapi sekarang aku
bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu
aku kesal karena iasering
berantakan di kamar tidur kami,
tetapi kini aku merasa kamar
tidur kami terasa kosong dan
hampa. Duluaku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan
meninggalkannya di laptopku
tanpa me-log out, sekarang aku
memandangi komputer, mengusap
tuts-tutsnya berharap bekas
jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka
ia membuat kopi tanpa alas
piringdi meja, sekarang bekasnya
yang tersisa di sarapan pagi
terakhirnyapun tidak mau
kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya,
sekarang dengan mudah
kutemukan meski aku berharap
bisa mengganti kehilangannya
dengan kehilangan remote. Semua
kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia
mencintaiku dan aku sudah
terkena panah cintanya.Aku juga
marah pada diriku sendiri, aku
marah karena semua kelihatan
normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-
bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang
membuatku rindu. Aku marah
karena tak bisa menghentikan
semua penyesalanku. Aku marahkarena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak
ada lagi yang mengingatkanku
sholat meskipun kini kulakukan
dengan ikhlas. Aku sholat karena
aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-
nyiakan suami yang dianugerahi
padaku, meminta ampun karena
telah menjadi istri yang tidak baik
pada suami yang begitu
sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi
sedikit.Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu
banyak perhatian dari keluarga
untukku dan anak-anak. Teman-
temanku yang selama ini kubela- belain, hampir tak pernah
menunjukkanbatang hidung
mereka setelah kepergian
suamiku.Empat puluh hari setelah
kematiannya, keluarga
mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak
yang menungguku dan harus
kuhidupi. Kembali rasa bingung
merasukiku. Selama ini aku tahu
beres dan tak pernahbekerja.
Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini
aku tak pernah peduli, yang
kupedulikan hanya jumlah
rupiahyang ia transfer ke
rekeningku untuk kupakai untuk
keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah
bersisa. Dari kantor tempatnya
bekerja, aku memperoleh gaji
terakhir beserta kompensasi
bonusnya. Ketika melihatnya aku
terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya
ditransfer ke rekeningku selama
ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakanuntuk
keperluan rumah tangga.Entah
darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga karena aku tak
pernah bertanya sekalipun soal
itu.Yang aku tahu sekarang aku
harus bekerja atau anak-anakku
takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi
bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi
bekerja di mana? Aku hampir tak
pernah punya pengalaman sama
sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.Kebingunganku terjawab
beberapa waktu kemudian.
Ayahku datang bersama seorang
notaris. Ia membawa banyak
sekali dokumen. Lalu notaris
memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia
mewariskan seluruh kekayaannya
padaku dan anak-anak, ia
menyertai ibunya dalam surat
tersebut tapi yang membuatku
tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya
untukku.Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus
meninggalkanmu terlebih dahulu,
sayang. maaf karena harus
membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf
karena aku tak bisa
memberimucinta dan kasih sayang
lagi. Allah memberiku waktu yang
terlalu singkat karena
mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah
kulakukan untukmu.Seandainya
aku bisa, aku ingin mendampingi
sayang selamanya. Tetapi aku tak
mau kalian kehilangan kasih
sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi
sedikit untuk kehidupan kalian
nanti. Aku tak ingin sayang susah
setelah aku pergi. Tak banyak
yang bisa kuberikan tetapi aku
berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk
membesarkan dan mendidik anak-
anak. Lakukan yang terbaik
untuk mereka, ya sayang.Jangan
menangis, sayangku yang manja.
Lakukan banyak haluntuk membuat hidupmu yang terbuang
percuma selama ini. Aku memberi
kebebasan padamuuntuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang
tak sempat kau lakukan selama
ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga
Tuhan memberimu jodoh yang
lebih baik dariku.Teruntuk Farah,
putri tercintaku. Maafkan karena
ayah tak bisa mendampingimu.
Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku.
Jagalah Ibu dan Farah. Jangan
jadi anak yang bandel lagi dan
selalu ingat dimanapun kalian
berada, ayah akan disana
melihatnya. Oke, Buddy!Aku terisak membaca surat itu, ada
gambar kartun dengankacamata
yang diberi lidah menjulur khas
suamiku kalau ia mengirimkan
note.Notaris memberitahu bahwa
selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan
deposito dari hasil warisan ayah
kandungnya. Suamiku membuat
beberapa usaha dari hasil
deposito tabungan tersebut dan
usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-
orang kepercayaannya. Aku
hanya bisa menangis terharu
mengetahui betapa besar
cintanya pada kami, sehingga
ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami
dengancinta . Aku tak pernah
berpikir untuk menikah lagi.
Banyaknya lelaki yang hadir tak
mampu menghapus sosoknya
yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya
kuabdikan untuk anak-anakku.
Ketika orangtuaku dan mertuaku
pergi satu persatu
meninggalkanku selaman-lamanya,
tak satupun meninggalkan kesedihan sedalamkesedihanku
saat suamiku pergi.Kini kedua
putra putriku berusia duapuluh
tiga tahun. Dua hari lagi putriku
menikahi seorang pemuda dari
tanah seberang. Putri kami bertanya,“Ibu, aku harus
bagaimana nantisetelah menjadi
istri, soalnya Farah kan ga bisa
masak, ga bisa nyuci, gimana ya
bu?”Aku merangkulnya sambil
berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu,
cintailah apa yang ia miliki dan
kau akan mendapatkan
segalanya. Karenacinta , kau
akan belajar menyenangkan
hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar
bahwa sebesar apapun persoalan,
kalian akan menyelesaikannya
atas namacinta .” Putriku
menatapku, “seperti cinta ibu
untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada
ayah sampai sekarang?”Aku
menggeleng, “bukan, sayangku.
Cintailah suamimu seperti ayah
mencintai ibu dulu, seperti ayah
mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karenacinta ayah
yang begitu besar pada ibu dan
kalian berdua.”Aku mungkin tak
beruntung karena tak sempat
menunjukkan cintaku pada
suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk
membencinya, tetapi
menghabiskan hampir
sepanjangsisa hidupku untuk
mencintainya.Aku bebas darinya
karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya
yang begitu tulus.- T A M A T -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar