NIRAN AZZA


SELAMAT DATANG SILAHKAN LIHAT-LIHAT DAN DIAMBIL YANG ADA HIKMAHNYA

Minggu, 09 September 2012

Kisah nyata : Istri yang berhati
Malaikat Cinta itu butuh kesabaran…
Sampai dimanakah kita harus
bersabar menanti cinta kita???
Hari itu.. aku dengannya
berkomitmen untuk menjaga cinta
kita.. Aku menjadi perempuan yg paling
bahagia…..
Pernikahan kami sederhana namun
meriah….. Ia menjadi pria yang sangat
romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan
seorang pria yang shaleh, pintar,
tampan & mapan pula.
Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.
Kami akan berbulan madu di tanah
suci, itu janjinya ketika kami
berpacaran dulu..
Dan setelah menikah, aku
mengajaknya untuk umroh ke tanah suci….
Aku sangat bahagia dengannya, dan
dianya juga sangat memanjakan
aku… sangat terlihat dari rasa
cinta dan rasa sayangnya pada ku.
Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi.
Sangat terlihat sekali bagaimana
suamiku memanjakanku. Dan aku
bahagia menikah dengannya. Lima tahun berlalu sudah kami
menjadi suami istri, sangat tak
terasa waktu begitu cepat
berjalan walaupun kami hanya hidup
berdua saja karena sampai saat ini
aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di
tengah keharmonisan rumah
tangga kami.
Karena dia anak lelaki satu-
satunya dalam keluarganya, jadi
aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi
baginya. Alhamdulillah saat itu
suamiku mendukungku,
Ia mengaggap Allah belum
mempercayai kami untuk menjaga
titipan-NYA. Tapi keluarganya mulai resah. Dari
awal kami menikah, ibu dan adiknya
tidak menyukaiku. Aku sering
mendapat perlakuan yang tidak
menyenangkan dari mereka, namun
aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku, didepan suamiku
mereka berlaku sangat baik
padaku, tapi dibelakang suamiku,
aku dihina-hina oleh mereka… Pernah suatu ketika satu tahun
usia pernikahan kami, suamiku
mengalami kecelakaan, mobilnya
hancur. Alhamdulillah suamiku
selamat dari maut yang hampir
membuat ku menjadi seorang janda itu. Ia dirawat dirumah sakit pada
saat dia belum sadarkan diri
setelah kecelakaan. Aku selalu
menemaninya siang dan malam sambil
kubacakan ayat-ayat suci Al –
Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku
melakukan aktivitas sosial ku, aku
sibuk mengurus suamiku yang sakit
karena kecelakaan. Namun saat ketika aku kembali ke
rumah sakit setelah dari rumah
kami, aku melihat di dalam
kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan
teman-teman suamiku, dan disaat
itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab
mengobrol dengan ibu mertuaku.
Mereka tertawa menghibur
suamiku. Alhamdulillah suamiku ternyata
sudah sadar, aku menangis ketika
melihat suami ku sudah sadar, tapi
aku tak boleh sedih di hadapannya. Kubuka pintu yang tertutup
rapat itu sambil mengatakan,
“Assalammu’alaikum” dan mereka
menjawab salamku. Aku berdiam
sejenak di depan pintu dan mereka
semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia
kangen padaku karena sudah 5
hari matanya selalu tertutup. Tangannya melambai,
mengisyaratkan aku untuk
memegang tangannya erat.
Setelah aku menghampirinya,
kucium tangannya sambil berkata
“Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan
suaranya yg lirih namun penuh
dengan cinta. Aku pun senyum
melihat wajahnya. Lalu.. Ibu nya berbicara denganku
… “Fis, kenalkan ini Desi teman
Fikri”. Aku teringat cerita dari suamiku
bahwa teman baiknya pernah
mencintainya, perempuan itu
bernama Desi dan dia sangat
akrab dengan keluarga suamiku.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun
langsung berjabat tangan
dengannya, tak banyak aku bicara
di dalam ruangan tersebut,aku tak
mengerti apa yg mereka
bicarakan. Aku sibuk membersihkan dan
mengobati luka-luka di kepala
suamiku, baru sebentar aku
membersihkan mukanya, tiba-tiba
adik ipar ku yang bernama Dian
mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun
mengijinkannya. Kemudian aku pun
menemaninya. Tapi ketika di luar adik ipar ku
berkata, ”lebih baik kau pulang
saja, ada kami yg menjaga abang
disini. Kau istirahat saja. ” Anehnya, aku tak diperbolehkan
berpamitan dengan suamiku dengan
alasan abang harus banyak
beristirahat dan karena
psikologisnya masih labil. Aku
berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku
tidak diizinkan berpamitan dengan
suamiku. Tapi tiba-tiba ibu
mertuaku datang menghampiriku
dan ia juga mengatakan hal yang
sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku
pulang tak berpamitan padanya,
toh suamiku selalu menurut apa
kata ibunya, baik ibunya Salah
ataupun Tidak, suamiku tetap saja
membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah
sakit itu dengan linangan air mata. Sejak saat itu aku tidak pernah
diijinkan menjenguk suamiku sampai
ia kembali dari rumah sakit. Dan
aku hanya bisa menangis dalam
kesendirianku. Menangis mengapa
mereka sangat membenciku. Hari itu.. aku menangis tanpa
sebab, yang ada di benakku aku
takut kehilangannya, aku takut
cintanya dibagi dengan yang lain,
pagi itu, pada saat aku
membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke
taman belakang, ia baru saja
selesai sarapan, ia mengajakku
duduk di ayunan favorit kami sambil
melihat ikan-ikan yang bertaburan
di kolam air mancur itu. Aku bertanya, ”Ada apa kamu
memanggilku?” Ia berkata, ”Besok aku akan
menjenguk keluargaku di Sabang” Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku
tahu, aku sudah mengemasi barang-
barang kamu di travel bag dan
kamu sudah memeegang tiket
bukan?” “Ya tapi aku tak akan lama disana,
cuma 3 minggu aku disana, aku juga
sudah lama tidak bertemu dengan
keluarga besarku sejak kita
menikah dan aku akan pulang dengan
mamaku”, jawabnya tegas. “Mengapa baru sekarang bicara,
aku pikir hanya seminggu saja kamu
disana?“, tanyaku balik kepadanya
penuh dengan rasa penasaran dan
sedikit rasa kecewa karena ia
baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku
telah bersusah payah mencarikan
tiket pesawat untuknya. ”Mama minta aku yang menemaninya
saat pulang nanti”, jawabnya
tegas. ”Sekarang aku ingin seharian
dengan kamu karena nanti kita 3
minggu tidak bertemu, ya kan?”,
lanjutnya lagi sambil memelukku dan
mencium keningku. Hatiku sedih
dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya. Bahagianya aku dimanja dengan
suami yang penuh dengan rasa
sayang dan cintanya walau
terkadang ia bersikap kurang adil
terhadapku. Aku hanya bisa tersenyum saja,
padahal aku ingin bersama Suamiku,
tapi karena keluarganya tidak
menyukaiku hanya karena mereka
cemburu padaku karena Suamiku
sangat sayang padaku. Kemudian aku memutuskan agar ia
saja yg pergi dan kami juga harus
berhemat dalam pengeluaran
anggaran rumah tangga kami. Karena ini acara sakral bagi
keluarganya, jadi seluruh
keluarganya harus komplit.
Walaupun begitu, aku pun tetap
tak akan diperdulikan oleh
keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat
mereka sangat senang dan aku pun
tak mau membuat riuh keluarga ini. Malam sebelum kepergiannya, aku
menangis sambil membereskan
keperluan yang akan dibawanya ke
Sabang, ia menatapku dan
menghapus airmata yang jatuh
dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan
dia pergi seakan terjadi sesuatu,
tapi aku tidak tahu apa yang akan
terjadi. Aku hanya bisa menangis
karena akan ditinggal pergi
olehnya. Aku tidak pernah ditinggal pergi
selama ini, karena kami selalu
bersama-sama kemana pun ia
pergi. Apa mungkin aku sedih karena aku
sendirian dan tidak memiliki teman,
karena biasanya hanya pembantu
sajalah teman mengobrolku. Hati ini sedih akan di tinggal pergi
olehnya. Sampai keesokan harinya, aku
terus menangis.. menangisi
kepergiannya. Aku tak tahu
mengapa sesedih ini, perasaanku
tak enak, tapi aku tak boleh
berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti
akan selalu menelponku. Berjauhan dengan suamiku, aku
merasa sangat tidak nyaman, aku
merasa sendiri. Untunglah aku
mempunyai kesibukan sebagai
seorang aktivis, jadinya aku tak
terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang. Saat kami berhubungan jarak
jauh, komunikasi kami memburuk
dan aku pun jatuh sakit. Rahimku
terasa sakit sekali seperti di lilit
oleh tali. Tak tahan aku menahan
rasa sakit dirahimku ini, sampai- sampai aku mengalami pendarahan.
Aku dilarikan ke rumah sakit oleh
adik laki-lakiku yang kebetulan
menemaniku disana. Dokter
memvonis aku terkena kanker
mulut rahim stadium tiga. Aku menangis.. apa yang bisa aku
banggakan lagi.. Mertuaku akan semakin
menghinaku, suamiku yang malang
yang selalu berharap akan punya
keturunan dari rahimku.. namun aku
tak bisa memberikannya
keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku. Aku kangen pada suamiku, aku
selalu menunggu ia pulang dan
bertanya-tanya, “kapankah ia
segera pulang?” aku tak tahu.. Sementara suamiku disana, aku
tidak tahu mengapa ia selalu
marah-marah jika menelponku.
Bagaimana aku akan menceritakan
kondisiku jika ia selalu marah-
marah terhadapku.. Lebih baik aku tutupi dulu tentang
hal ini dan aku juga tak mau
membuatnya khawatir selama ia
berada di Sabang. Lebih baik nanti saja ketika ia
sudah pulang dari Sabang, aku akan
cerita padanya. Setiap hari aku
menanti suamiku pulang, hari demi
hari aku hitung… Sudah 3 minggu suamiku di Sabang,
malam itu ketika aku sedang
melihat foto-foto kami, ponselku
berbunyi menandakan ada sms yang
masuk, kubuka di inbox ponselku,
ternyata dari suamiku yang sms. Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk
pulang, aku pulangnya satu hari lagi,
aku akan kabarin lagi”. Hanya itu saja yang diinfokannya.
Aku ingin marah, tapi aku pendam
saja ego yang tidak baik ini. Hari yg
aku tunggu pun tiba, aku
menantinya di rumah. Sebagai seorang istri, aku pun
berdandan yang cantik dan
memakai parfum kesukaannya
untuk menyambut suamiku pulang,
dan nantinya aku juga akan
menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini. Bel pun berbunyi, kubukakan pintu
untuknya dan ia pun mengucap
salam. Sebelum masuk, aku pegang
tangannya kedepan teras namun ia
tetap berdiri, aku membungkuk
untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku
tak mau ada syaithan yang masuk
ke dalam rumah kami. Setelah itu akupun berdiri
langsung mencium tangannya tapi
apa reaksinya.. Masya Allah.. ia tidak mencium
keningku, ia hanya diam dan langsung
naik keruangan atas, kemudian
mandi dan tidur tanpa bertanya
kabarku.. Aku hanya berpikir, mungkin dia
capek. Aku pun segera merapikan
bawaannya sampai aku pun
tertidur. Malam menunjukkan 1/3
malam, mengingatkan aku pada
tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta. Biasanya kami selalu berjama’ah,
tapi karena melihat nya tidur
sangat pulas, aku tak tega
membangunkannya. Aku hanya
mengelus wajahnya dan aku cium
keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at. Aku mendengar suara mobilnya,
aku terbangun lalu aku melihat
dirinya dari balkon kamar kami
yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu
aku memanggilnya tapi ia tak
mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas
ke bawah tanpa memperdulikan
darah yang bercecer dari rahimku
untuk mengejarnya tapi ia begitu
cepat pergi. Aku merasa ada yang aneh dengan
suamiku. Ada apa dengan suamiku?
Mengapa ia bersikap tidak biasa
terhadapku? Aku tidak bisa diam
begitu saja, firasatku
mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon
kerumah mertuaku dan kebetulan
Dian yang mengangkat telponnya,
aku bercerita dan aku bertanya
apa yang sedang terjadi dengan
suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja
sendiri!!!”. Telpon pun langsung
terputus. Ada apa ini? Tanya hatiku penuh
dalam kecemasan. Mengapa suamiku
berubah setelah ia kembali dari
kota kelahirannya. Mengapa ia tak
mau berbicara padaku, apalagi
memanjakan aku. Semakin hari ia menjadi orang yang
pendiam, seakan ia telah melepas
tanggung jawabnya sebagai
seorang suami. Kami hanya
berbicara seperlunya saja, aku
selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan
mengapa pulang terlambat dan ia
bertanya dengan nada yg keras.
Suamiku telah berubah.. Bahkan yang membuat ku kaget,
aku pernah dituduhnya berzina
dengan mantan pacarku. Ingin
rasanya aku menampar suamiku
yang telah menuduhku serendah
itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang
suami, status suami tetap di atas
para istri, itu pedoman yang aku
pegang.
Aku hanya berdo’a semoga suamiku
sadar akan prilakunya. Dua tahun berlalu, suamiku tak
kunjung berubah juga. Aku
menangis setiap malam, lelah
menanti seperti ini, kami seperti
orang asing yang baru saja
berkenalan, kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna.
Walaupun kondisinya tetap
seperti itu, aku tetap
merawatnya dan menyiapkan
segala yang ia perlukan.
Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak
pernah bertanya perihal obat
apa yang aku minum. Kebahagiaan
ku telah sirna, harapan menjadi ibu
pun telah aku pendam. Aku tak
tahu kapan ini semua akan berakhir. Bersyukurlah.. aku punya
penghasilan sendiri dari
aktifitasku sebagai seorang guru
ngaji, jadi aku tak perlu meminta
uang padanya hanya untuk
pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku. Sungguh.. suami yang dulu aku puja
dan aku banggakan, sekarang telah
menjadi orang asing bagiku, setiap
aku bertanya ia selalu menyuruhku
untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba
saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku. “Ya, ada apa Yah!” sahutku
dengan memanggil nama
kesayangannya “Ayah”. “Lusa kita siap-siap ke Sabang
ya.” Jawabnya tegas. “Ada apa? Mengapa?”, sahutku
penuh dengan keheranan. Astaghfirullah.. suami ku yang dulu
lembut tiba-tiba saja menjadi
kasar, dia membentakku. Sehingga
tak ada lagi kelanjutan diskusi
antara kami. Dia mengatakan ”Kau ikut saja
jangan banyak tanya!!” Lalu aku pun bersegera mengemasi
barang-barang yang akan dibawa
ke Sabang sambil menangis, sedih
karena suamiku kini tak ku kenal
lagi. Lima tahun kami menikah dan sudah
2 tahun pula ia menjadi orang asing
buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu
hangat penuh cinta yang dihiasi
foto pernikahan kami, sekarang
menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan
kebingungan ini. Ingin rasanya aku
berontak berteriak, tapi aku tak
bisa. Suamiku tak suka dengan wanita
yang kasar, ngomong dengan nada
tinggi, suka membanting barang-
barang. Dia bilang perbuatan itu
menunjukkan sikap
ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya
bicara dan sabar mengobati
penyakitku ini, dalam kesendirianku..
—————————————-
Kami telah sampai di Sabang, aku
masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena
terus berpikir. Keluarga besarnya
juga telah berkumpul disana,
termasuk ibu & adik-adiknya. Aku
tidak tahu ada acara apa ini.. Aku dan suamiku pun masuk ke
kamar kami. Suamiku tak betah
didalam kamar tua itu, ia pun
langsung keluar bergabung dengan
keluarga besarnya. Baru saja aku membongkar koper
kami dan ingin memasukkannya ke
dalam lemari tua yg berada di
dekat pintu kamar, lemari tua
yang telah ada sebelum suamiku
lahir, tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil
ku untuk bersegera berkumpul
diruang tengah, aku pun menuju ke
ruang keluarga yang berada
ditengah rumah besar itu, yang
tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda. Kemudian aku duduk disamping
suamiku, dan suamiku menunduk
penuh dengan kebisuan, aku tak
berani bertanya padanya. Tiba-tiba saja neneknya, orang
yang dianggap paling tua dan paling
berhak atas semuanya, membuka
pembicaraan. “Baiklah, karena kalian telah
berkumpul, nenek ingin bicara
dengan kau Fisha”. Neneknya
berbicara sangat tegas, dengan
sorot mata yang tajam. ”Ada apa ya Nek?” sahutku
dengan penuh tanya.. Nenek pun menjawab, “Kau telah
bergabung dengan keluarga kami
hampir 8 tahun, sampai saat ini
kami tak melihat tanda-tanda
kehamilan yang sempurna sebab
selama ini kau selalu keguguran!!“. Aku menangis.. untuk inikah aku
diundang kemari? Untuk dihina
ataukah dipisahkan dengan
suamiku? “Sebenarnya kami sudah punya
calon untuk Fikri, dari dulu..
sebelum kau menikah dengannya.
Tapi Fikri anak yang keras kepala,
tak mau di atur,dan akhirnya
menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat
lantang, mungkin logat orang
Sabang seperti itu semua. Aku hanya bisa tersenyum dan
melihat wajah suamiku yang kosong
matanya. “Dan aku dengar dari ibu
mertuamu kau pun sudah
berkenalan dengannya”, neneknya
masih melanjutkan pembicaraan
itu. Sedangkan suamiku hanya terdiam
saja, tapi aku lihat air matanya.
Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat
dengan semua ini, tapi aku tak
punya keberanian itu. Neneknya masih saja berbicara
panjang lebar dan yang terakhir
dari ucapannya dengan mimik wajah
yang sangat menantang kemudian
berkata, “kau maunya gimana? kau
dimadu atau diceraikan?“ Masya Allah.. kuatkan hati ini.. aku
ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan
remuk mendengarnya, hancur
hatiku. Mengapa keluarganya
bersikap seperti ini terhadapku.. Aku selalu munutupi masalah ini dari
kedua orang tuaku yang tinggal di
pulau kayu, mereka mengira aku
sangat bahagia 2 tahun belakangan
ini. “Fish, jawab!.” Dengan tegas
Ibunya langsung memintaku untuk
menjawab. Aku langsung memegang tangan
suamiku. Dengan tangan yang dingin
dan gemetar aku menjawab dengan
tegas. Walaupun aku tidak bisa berdiskusi
dulu dengan imamku, tapi aku dapat
berdiskusi dengannya melalui
bathiniah. ‘’Untuk kebaikan dan masa depan
keluarga ini, aku akan menyambut
baik seorang wanita baru dirumah
kami..” Itu yang aku jawab, dengan kata
lain aku rela cintaku dibagi. Dan
pada saat itu juga suamiku
memandangku dengan tetesan air
mata, tapi air mataku tak sedikit
pun menetes di hadapan mereka. Aku lalu bertanya kepada suamiku,
“Ayah siapakah yang akan menjadi
sahabatku dirumah kita nanti,
yah?” Suamiku menjawab, ”Dia Desi!” Aku pun langsung menarik napas
dan langsung berbicara, ”Kapan
pernikahannya berlangsung? Apa
yang harus saya siapkan dalam
pernikahan ini Nek?.” Ayah mertuaku menjawab,
“Pernikahannya 2 minggu lagi.” ”Baiklah kalo begitu saya akan
menelpon pembantu di rumah,
untuk menyuruhnya mengurus KK
kami ke kelurahan besok”, setelah
berbicara seperti itu aku permisi
untuk pamit ke kamar. Tak tahan lagi.. air mata ini akan
turun, aku berjalan sangat cepat,
aku buka pintu kamar dan aku
langsung duduk di tempat tidur.
Ingin berteriak, tapi aku sendiri
disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit.
Diiringi akutnya penyakitku.. Apakah karena ini suamiku menjadi
orang yang asing selama 2 tahun
belakangan ini? Aku berjalan menuju ke meja rias,
kubuka jilbabku, aku bercermin
sambil bertanya-tanya, “sudah
tidak cantikkah aku ini?“ Ku ambil sisirku, aku menyisiri
rambutku yang setiap hari
rontok. Kulihat wajahku,
ternyata aku memang sudah tidak
cantik lagi, rambutku sudah
hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya. Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka,
ternyata suamiku yang datang, ia
berdiri dibelakangku. Tak kuhapus
air mata ini, aku bersegera
memandangnya dari cermin meja
rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku mulai
pembicaraan, “terima kasih ayah,
kamu memberi sahabat kepada ku.
Jadi aku tak perlu sedih lagi saat
ditinggal pergi kamu nanti! Iya
kan?.” Suamiku mengangguk sambil melihat
kepalaku tapi tak sedikitpun ia
tersenyum dan bertanya kenapa
rambutku rontok, dia hanya
mengatakan jangan salah memakai
shampo. Dalam hatiku bertanya, “mengapa
ia sangat cuek?” dan ia sudah tak
memanjakanku lagi. Lalu dia
berkata, “sudah malam, kita
istirahat yuk!“ “Aku sholat isya dulu baru aku
tidur”, jawabku tenang. Dalam sholat dan dalam tidur aku
menangis. Ku hitung mundur waktu,
kapan aku akan berbagi suami
dengannya. Aku pun ikut sibuk
mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi orang
Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin
takdirku. Aku ingin suamiku kembali
seperti dulu, yang sangat
memanjakan aku atas rasa sayang
dan cintanya itu.. ———————————————
—————– Malam sebelum hari pernikahan
suamiku, aku menulis curahan hatiku
di laptopku. Di laptop aku menulis saat-saat
terakhirku melihat suamiku, aku
marah pada suamiku yang telah
menelantarkanku. Aku menangis
melihat suamiku yang sedang tidur
pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku save di mydocument yang bertitle
“Aku Mencintaimu Suamiku.” Hari pernikahan telah tiba, aku
telah siap, tapi aku tak sanggup
untuk keluar. Aku berdiri didekat
jendela, aku melihat matahari,
karena mungkin saja aku takkan
bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku
yang telah siap dengan pakaian
pengantinnya masuk dan berbicara
padaku. “Apakah kamu sudah siap?” Kuhapus airmata yang menetes
diwajahku sambil berkata : “Nanti jika ia telah sah jadi
istrimu, ketika kamu membawa ia
masuk kedalam rumah ini, cucilah
kakinya sebagaimana kamu mencuci
kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk
ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana
yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu
setelah itu..”, perkataanku
terhenti karena tak sanggup aku
meneruskan pembicaraan itu, aku
ingin menagis meledak. Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu
apa Bunda?” Aku kaget mendengar kata itu,
yang tadinya aku menunduk
seketika aku langsung menatapnya
dengan mata yang berbinar-
binar… “Bisa kamu ulangi apa yang kamu
ucapkan barusan?”, pintaku tuk
menyakini bahwa kuping ini tidak
salah mendengar. Dia mengangguk dan berkata,
”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu
apa bunda?”, sambil ia mengelus
wajah dan menghapus airmataku,
dia agak sedikit membungkuk
karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja. Dia tersenyum sambil berkata,
”Kita lihat saja nanti ya!”. Dia
memelukku dan berkata, “bunda
adalah wanita yang paling kuat
yang ayah temui selain mama”.. Kemudian ia mencium keningku, aku
langsung memeluknya erat dan
berkata, “Ayah, apakah ini akan
segera berakhir? Ayah kemana
saja? Mengapa Ayah berubah?
Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah?
Aku kangen dengan manjanya
Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan
satu hal lagi yang harus Ayah tau,
bahwa aku tidak pernah berzinah!
Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa
melupakannya, setelah 4 bulan
bersama Ayah baru bisa aku
terima, jika yang dihadapanku itu
adalah lelaki yang aku cari. Bukan
berarti aku pernah berzina Ayah.” Aku langsung bersujud di
kakinya dan muncium kaki imamku
sambil berkata, ”Aku minta maaf
Ayah, telah membuatmu susah”. Saat itu juga, diangkatnya
badanku.. ia hanya menangis. Ia memelukku sangat lama, 2 tahun
aku menanti dirinya kembali. Tiba-
tiba perutku sakit, ia menyadari
bahwa ada yang tidak beres
denganku dan ia bertanya, ”bunda
baik-baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir. Aku pun menjawab, “bisa memeluk
dan melihat kamu kembali seperti
dulu itu sudah mebuatku baik, Yah.
Aku hanya tak bisa bicara
sekarang“. Karena dia akan
menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu
menjalani acara prosesi akad nikah
tersebut. ———————————————
— Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul
pun dimulai. Aku duduk diseberang
suamiku. Aku melihat suamiku duduk
berdampingan dengan perempuan
itu, membuat hati ini cemburu, ingin
berteriak mengatakan, “Ayah
jangan!!”, tapi aku ingat akan
kondisiku. Jantung ini berdebar kencang
saat mendengar ijab-qabul
tersebut. Begitu ijab-qabul
selesai, aku menarik napas panjang.
Tante Lia, tante yang baik itu,
memelukku.. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati
ini. Ya… aku kuat. Tak sanggup aku melihat mereka
duduk bersanding dipelaminan.
Orang-orang yang hadir di acara
resepsi itu iba melihatku, mereka
melihatku dengan tatapan sangat
aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu..
hatiku menangis. Sampai dirumah, suamiku langsung
masuk ke dalam rumah begitu saja.
Tak mencuci kakinya. Aku sangat
heran dengan perilakunya. Apa iya,
dia tidak suka dengan pernikahan
ini? Sementara itu Desi disambut
hangat di dalam keluarga suamiku,
tak seperti aku dahulu, yang di
musuhi. Malam ini aku tak bisa tidur,
bagaimana bisa? Suamiku akan
tidur dengan perempuan yang
sangat aku cemburui. Aku tak
tahu apa yang sedang mereka
lakukan didalam sana. Sepertiga malam pada saat aku
ingin sholat lail aku keluar untuk
berwudhu, lalu aku melihat ada
lelaki yang mirip suamiku tidur
disofa ruang tengah. Kudekati lalu
kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia
ternyata tidur disofa, aku duduk
disofa itu sambil menghelus
wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia
memegang tangan kiriku, tentu
saja aku kaget. “Kamu datang ke sini, aku pun
tahu”, ia berkata seperti itu.
Aku tersenyum dan megajaknya
sholat lail. Setelah sholat lail ia
berkata, “maafkan aku, aku tak
boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita
pulang ke Jakarta, biar Desi
pulang dengan mama, papa dan juga
adik-adikku” Aku menatapnya dengan penuh
keheranan. Tapi ia langsung
mengajakku untuk istirahat. Saat
tidur ia memelukku sangat erat.
Aku tersenyum saja, sudah lama ini
tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat
maut untuk mengambil nyawaku
sekarang ini, karena aku telah
merasakan kehadirannya saat ini.
Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan
aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang
selama 2 tahun ini.. Suamiku berbisik, “Bunda kok
kurus?” Aku menangis dalam kebisuan.
Pelukannya masih bisa aku rasakan. Aku pun berkata, “Ayah kenapa
tidak tidur dengan Desi?” ”Aku kangen sama kamu Bunda,
aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu
sudah sering terluka oleh sikapku
yang egois.” Dengan lembut suamiku
menjawab seperti itu. Lalu suamiku berkata, ”Bun, Ayah
minta maaf telah menelantarkan
bunda.. Selama ayah di Sabang,
ayah dengar kalau bunda tidak
tulus mencintai ayah, bunda
seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan
satu lagi.. ayah pernah melihat sms
bunda dengan mantan pacar bunda
dimana isinya kalau bunda gak mau
berbuat “seperti itu” dan tulisan
seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin
ngomong tapi takut bunda
tersinggung dan ayah berpikir
kalau bunda pernah tidur
dengannya sebelum bunda bertemu
ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu
memanjakan bunda..” Hati ini sakit ketika difitnah oleh
suamiku, ketika tidak ada
kepercayaan di dirinya, hanya
karena omongan keluarganya yang
tidak pernah melihat betapa
tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini. Aku hanya menjawab, “Aku sudah
ceritakan itu kan Yah.. Aku tidak
pernah berzinah dan aku
mencintaimu setulus hatiku, jika
aku hanya mengejar hartamu,
mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih
mapan darimu waktu itu Yah.. Jika
aku hanya mengejar hartamu, aku
tak mungkin setiap hari menangis
karena menderita mencintaimu..“ Entah aku harus bahagia atau aku
harus sedih karena sahabatku
sendirian dikamar pengantin itu.
Malam itu, aku menyelesaikan
masalahku dengan suamiku dan
berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga. Karena aku tak mau mati dalam
hati yang penuh dengan rasa benci. ———————————————
– Keesokan harinya… Ketika aku ingin terbangun untuk
mengambil wudhu, kepalaku pusing,
rahimku sakit sekali.. aku mengalami
pendarahan dan suamiku kaget
bukan main, ia langsung
menggendongku. Aku pun dilarikan ke rumah sakit.. Dari kejauhan aku mendengar
suara zikir suamiku.. Aku merasakan tanganku basah.. Ketika kubuka mata ini, kulihat
wajah suamiku penuh dengan rasa
kekhawatiran. Ia menggenggam tanganku dengan
erat.. Dan mengatakan, ”Bunda,
Ayah minta maaf…” Berkali-kali ia mengucapkan hal itu.
Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang
terjadi padaku? Aku berkata dengan suara yang
lirih, ”Yah, bunda ingin pulang..
bunda ingin bertemu kedua orang
tua bunda, anterin bunda kesana
ya, Yah..” “Ayah jangan berubah lagi ya! Janji
ya, Yah… !!! Bunda sayang banget
sama Ayah.” Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat
sakit, sakitnya semakin keatas,
kakiku sudah tak bisa bergerak
lagi.. aku tak kuat lagi memegang
tangan suamiku. Kulihat wajahnya
yang tampan, berlinang air mata. Sebelum mata ini tertutup,
kulafazkan kalimat syahadat dan
ditutup dengan kalimat tahlil. Aku bahagia melihat suamiku punya
pengganti diriku.. Aku bahagia selalu melayaninya
dalam suka dan duka.. Menemaninya dalam ketika ia
mengalami kesulitan dari kami
pacaran sampai kami menikah. Aku bahagia bersuamikan dia. Dia
adalah nafasku. Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan
aku telah hadir didalam kehidupan
anakmu sampai aku hidup didalam
hati anakmu. Ketahuilah Ma.. dari
dulu aku selalu berdo’a agar Mama
merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku
didepan suamiku, apa engkau punya
buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu
padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak
pernah menyuruhnya untuk
durhaka kepadamu, dari dulu aku
selalu mengerti apa yang kamu
inginkan dari anakmu, tapi mengapa
kau benci diriku.. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku
menantumu kau bersikap
sebaliknya..” ———————————————
—— Setelah ku buka laptop, kubaca
curhatan istriku. Ayah, mengapa keluargamu sangat
membenciku? Aku dihina oleh mereka ayah.. Mengapa mereka bisa baik
terhadapku pada saat ada
dirimu? Pernah suatu ketika aku bertemu
Dian di jalan, aku menegurnya
karena dia adik iparku tapi aku
disambut dengan wajah
ketidaksukaannya. Sangat
terlihat Ayah.. Tapi ketika engkau bersamaku,
Dian sangat baik, sangat manis dan
ia memanggilku dengan panggilan
yang sangat menghormatiku.
Mengapa seperti itu ayah ? Aku tak bisa berbicara tentang
ini padamu, karena aku tahu kamu
pasti membela adikmu, tak ada
gunanya Yah.. Aku diusir dari rumah sakit. Aku tak boleh merawat suamiku. Aku cemburu pada Desi yang
sangat akrab dengan mertuaku. Tiap hari ia datang ke rumah
sakit bersama mertuaku. Aku sangat marah.. Jika aku membicarakan hal ini pada
suamiku, ia akan pasti membela Desi
dan ibunya.. Aku tak mau sakit hati lagi.. Ya Allah kuatkan aku, maafkan
aku.. Engkau Maha Adil.. Berilah keadilan ini padaku, Ya
Allah.. Ayah sudah berubah, ayah sudah
tak sayang lagi pada ku.. Aku berusaha untuk mandiri ayah,
aku tak akan bermanja-manja lagi
padamu.. Aku kuat ayah dalam kesakitan ini.. Lihatlah ayah, aku kuat walaupun
penyakit kanker ini terus
menyerangku.. Aku bisa melakukan ini semua
sendiri ayah.. Besok suamiku akan menikah
dengan perempuan itu. Perempuan
yang aku benci, yang aku cemburui,
tapi aku tak boleh egois, ini untuk
kebahagian keluarga suamiku. Aku
harus sadar diri. Ayah, sebenarnya aku tak mau
diduakan olehmu.. Mengapa harus Desi yang menjadi
sahabatku? Ayah.. aku masih tak rela.. Tapi aku harus ikhlas menerimanya. Pagi nanti suamiku melangsungkan
pernikahan keduanya. Semoga saja
aku masih punya waktu untuk
melihatnya tersenyum untukku.
Aku ingin sekali merasakan kasih
sayangnya yang terakhir. Sebelum ajal ini menjemputku. ”Ayah.. aku kangen Ayah..” ===============
===============
======================= ’’Dan kini aku telah membawamu ke
orang tuamu, Bunda.. Aku akan mengunjungimu sebulan
sekali bersama Desi di Pulau Kayu
ini. Aku akan selalu membawakanmu
bunga mawar yang berwana pink
yang mencerminkan keceriaan
hatimu yang sakit tertusuk duri.’’ Bunda tetap cantik, selalu
tersenyum disaat tidur.. Bunda akan selalu hidup dihati
ayah.. Bunda.. Desi tak sepertimu, yang
tidak pernah marah.. Desi sangat berbeda denganmu, ia
tak pernah membersihkan
telingaku, rambutku tak pernah di
creambathnya, kakiku pun tak
pernah dicucinya. Ayah menyesal telah
menelantarkanmu selama 2 tahun,
kamu sakit pun aku tak perduli,
hidup dalam kesendirianmu.. Seandainya Ayah tak
menelantarkan Bunda, mungkin
Ayah masih bisa tidur dengan
belaian tangan Bunda yang halus.. Sekarang Ayah sadar, bahwa
ayah sangat membutuhkan bunda.. Bunda.. kamu wanita yang paling
tegar yang pernah kutemui.. Aku menyesal telah asik dalam ke-
egoanku.. Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur
tetap manis. Senyum manjamu
terlihat di tidurmu yang panjang.. ’’Maafkan aku, tak bisa bersikap
adil dan membahagiakanmu, aku
selalu meng-iyakan apa kata ibuku,
karena aku takut menjadi anak
durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah
oleh keluargaku, aku percaya
begitu saja.. Apakah Bunda akan mendapat
pengganti ayah di surga sana? Apakah Bunda tetap menanti
ayah disana? Tetap setia dialam
sana? Tunggulah Ayah disana Bunda.. Bisakan? Seperti Bunda menunggu
ayah di sini.. Aku mohon.. ’’Ayah Sayang Bunda….’’